Tentang Sebuah Proses …

Kebahagiaan paling tinggi adalah kenyataan bahwa kita dicintai, meski bagaimanapun keadaan kita.– Unknown

4 Januari 2016

Seminggu telah berlalu, rasanya melihat senyummu di balik pintu, membuat dinginnya pagi ini tidak terasa. Berat untuk memulai kembali aktivitas dan berpisah.
“Apa lagi A yang ketinggalan?”
“Helm Yang”
“Ah, pasti pengen ketemu lagi kan?”
Saya hanya tersenyum menerima helm yang kamu berikan.
“Aa berangkat ya yang”
Ah.. Beda rasanya, sungguh beda antara berangkat kerja dua minggu yang lalu dengan hari ini. Sungguh beda. Sepanjang perjalanan saya terus berpikir, is it a dream? am I dreaming?

Akhir Februari 2015

“Sudah selesai proposalnya, Fal”
BBM Abi di pagi itu membuat saya sedikit mencelos. Saya belum menyelesaikan proposal nikah yang sudah beliau minta semenjak seminggu lalu. Bukan karena tidak mau, hanya saja saya merasa kesusahan untuk mengisi format proposal yang dikirim oleh Kang Ali beberapa minggu sebelumnya. Butuh semacam manual untuk mengisi tiap bagian dari form tersebut, terutama bagian akhir yang mengharuskan kita mengisi kriteria calon pasangan yang kita inginkan.”Saya selesaikan akhir minggu ini, Bi”
“Jangan lupa pakai foto, Fal”
“Siap, Bi”
Ah.. Padahal tinggal bagian akhir saja, karena bagian biodata dan keadaan keluarga sudah saya isi dari awal. Memang butuh manual untuk mengisi yang seperti ini.

Setelah memutuskan untuk melepas masa lajang di tahun ini, saya berusaha meminta restu kedua orang tua dan memenuhi syarat yang mereka berikan, lalu mengajukan proposal nikah. Dari dulu memang sudah dipanasi oleh Abi untuk segera memasukkan proposal, hanya saja karena memang belum dapat restu dari orang tua, saya belum berani untuk mengajukan. Tahun inilah baru restu itu turun dengan syarat sudah memiliki tempat nongkrong yang resmi alias kerjaan. Babeh tidak terima kalau freelance yang saya lakukan sebagai staf penelitian sebagai salah satu pekerjaan yang bisa menafkahi anak orang.

Maka sembari menyebar jaring ke sana-sini, saya juga memasukkan proposal nikah. Biar nanti  di awal-awal kerja sudah ada yang mendampingi.

***

“Sudah saya kirim Email proposalnya, Bi”
BBM saya kirim kepada beliau setelah saya mendapat sms tentang terekrutnya saya sebagai salah satu pengajar di Sekolah Global Madani. Saya memastikan syarat dari babeh terpenuhi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam proses. Biar lancar kedepannya kelak.
“oke”
BismiLlah.. rabbi inni limaa anzalta ilayya min khoirrin fakiir..

Pertengahan Maret 2015

“Fal, sudah ada yang merespon proposal kamu, namanya Rita Puspitasari, guru di SDIT Permata Bunda, dari Kotabumi. Coba kamu tanya-tanya dulu ke orang yang kenal. Lihat-lihat dulu fotonya di FB. Nanti saya kasih proposalnya ke kamu. Lupa saya bawa.”
“Oh.. Iya Bi. ”
Hati saya berdegup kencang, segera saya hidupkan netbook. Log in FB, mengetikkan nama yang beliau sebutkan di kotak search.

Luar biasanya, sulit sekali mencari foto dia di akun pribadinya tersebut. Sepertinya dia bukan tipe orang yang secara sengaja mengunggah foto pribadi ke medsos. Ada satu-dua foto yang ditandai atas namanya, hanya saja itupun tidak jelas. Ah… Agak kecewa tapi juga senang. Kecewa karena belum bisa melihat ‘penampakannya’ langsung. Senang karena ternyata dia termasuk tipe orang yang saya sebutkan tadi. Eh… Beda banget dengan saya, khawatir juga nih kalau melihat betapa ‘rajin’nya saya mengganti-ganti foto di FB, apa dia mau dengan saya ya?

***

3 Minggu berlalu semenjak pertama kali Abi memberitahukan namanya, 3 minggu berlalu semenjak sakit yang mengharuskan saya bedrest di kediaman kakak saya di Menggala. Saya sudah tidak terlalu banyak berharap awalnya. Sudah tidak ada kabar lagi tentang keberlanjutan proses yang sedang saya jalani. Mungkin sudah ada ikhwan yang terlebih dulu merespon. Saya bersiap untuk kembali ke Bandarlampung pagi itu.

“Fal, kapan kembali ke karang?” BBM Abi membuyarkan lamunan.
“Ini sedang siap-siap Bi, in Syaa Allah berangkat pagi ini.”
Abi barangkali ingin saya menyelesaikan buku yang harusnya selesai seminggu lalu. Ah…
“Ini proposal akhwatnya sudah saya bawa terus. Nanti kamu mampir ke ruangan saya kalau sudah sampai ya.”
“Iya Bi. Siap”

***
“Saya sudah sholeh belum ya Bi?”. Saya membaca lembar-lembar proposal yang Abi serahkan. Rita mencantumkan “sudah berpenghasilan, sholeh, ajeg tarbiyah, dan menerima dia dan keluarga apa adanya” sebagai kriteria calon suami. Saya tertohok dengan pertanyaan di dalam hati, “sudah sholehkah saya?”
“Itu proses, Fal. Yang terpenting tarbiyah tidak lepas. Kamu istikharah dulu saja”
“Iya Bi.””Kamu sudah tanya-tanya ke yang kenal?”
Saya memasukkan proposal tersebut ke dalam ransel, lalu melaporkan hasil obrolan singkat di jalan tadi via BBM.
“Sudah Bi, saya tadi tanya-tanya ke Mba Risa, Fisika 2006. Se-angkatan sama dia dan pernah bareng di BEM Unila dulu. Mba Risa bagus kasih keterangannya.”
“Oh dia angkatan 2006, 2 angkatan di atas kamu ya?”
“Iya Bi”
“Sudah kamu istikharah dulu, nanti kasih tahu kalau mau lanjut apa tidak?”.
“Iya Bi, saya pamit ya Bi. Mau istiharat”
“Oke”

***
Pagi itu syahdu sekali, selepas dhuha saya beranikan untuk mengirim pesan ke Abi. Hasil beberapa kali istikharah menguatkan keinginan saya untuk mengenal Rita lebih dalam. Ya, saya ingin melanjutkan proses.
“Bi, saya mau lanjut prosesnya”
BBM terkirim.
Rabbana atinaa milladunka rahmah. Wahiyyi’lana min amrina rosyada..

31 Mei 2015
“Ini Naufal ya?” Saya dikagetkan oleh Ustadz S yang datang menyapa. Ini pertama kalinya saya bertatapan langsung dengan beliau. Agenda Mabit yang dilaksanakan di Wasi’i dalam rangka mempersiapkan diri untuk Ramadhan ini memang diwajibkan untuk para aktivis dakwah kampus, termasuk beliau yang merupakan dosen yang rajin membimbing ADK.
“Stafnya pak Abe kan ya?”
“Iya Ustadz”. Saya langsung menutup Al-Qur’an, canggung sekali.
“Ana mau nanya soal kelanjutan proses proposal antum. Antum sudah pernah lihat akhwatnya?”
“Belum ustadz.” Saya langsung bisa menerka kemana arah pembicaraan beliau.
“Antum perlu melihat akhwatnya?”
“Perlu ustadz..!!” Saya langsung semangat menjawab.
“Hmm… Nanti kita coba agendakan, nanti antum nazhar saja. Baru nanti saya tanya lanjut proses atau nggak.” Ustadz kemudian meminta nomor handphone saya.
“Oh iya, nanti antum ke DH gak?”
“In syaa Allah ke DH ustadz”
“Ya sudah, antum nazhar di sana saja. Akhwatnya juga hadir.”
“Iya Ustadz.”

***

“Antum selesai acara langsung ke belakang mesjid. Akhwatnya nanti berdiri di sana” Sebuah sms dari nomor yang belum dikenal masuk ketika pemateri kedua sedang menjelaskan manfaat shaum dari segi kesehatan.
“Iya Ustadz”.  Saya tidak tahu getar apa yang terasa di dada. Gemuruh ini, saya tidak bisa mengartikannya sama sekali.

***
“Yang itu, Fal”. Ustadz S menunjuk ke arah gedung SD. Saya mengernyitkan kening, cuma ada ikhwan di sana, berkemeja belang-belang. Ustadz S tertawa.
“Nyantai saja, Fal. Tunggu sebentar. Akhwatnya sudah diminta untuk ke belakang.  Eh ini dia.” Gestur Ustadz menunjuk seorang akhwat yang berjalan di depan kami, sedang mengobrol dengan ummahat.
DHEG..!!!
Senyumnya.
DHEG..!!!
Cara bertuturnya.
DHEG..!!!
Keanggunannya.
I don’t know how to explain what I felt.
This undescibable feeling.
These beatings in my heart.
I don’t know how to explain.
Really, don’t, know, how, to explain.

Ustadz S menyenggol bahu saya, menunjukkan layar handphone-nya.
“Sudah cukup?”
Saya mengangguk canggung. Degup jantung masih bergemuruh. Setelah berpamitan, saya menuju motor yang, entah kebetulan atau apa, saya parkir tepat di depan dia berdiri. Saya tidak bisa tidak untuk memperhatikan sosok yang membuat gemuruh di dada ini. Memperhatikan lebih banyak lagi, lebih banyak lagi. Kaki gemetar saat saya memakai helm. Tangan kebas saat saya memegang stang. Masya Allah.. Masya Allah… Tak hentinya dada bergemuruh, bahkan sampai di perjalanan pulang. Bahkan saat sampai ke rumah.

***

Dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang wanita sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya” (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad hasan dan dishahihkan oleh Al-Hakim )

“Antum mau lanjut proses akh?”
“In syaa Allah lanjut ustadz”

***

21 Juni 2015

Hari yang sudah dijadwalkan oleh Ustadz S bagi kami untuk melakukan ta’aruf, untuk bertatapan muka dan mengobrol secara langsung. Malam sebelumnya saya sama sekali tidak bisa tertidur nyenyak, khawatir bila proses ta’aruf ini tidak berjalan lancar. Khawatir bila maksud dan tujuan saya tidak tersampaikan.

Semenjak mendapat proposal berisi biodata Rita, saya banyak mengobrol dengan Bapak di rumah, banyak meminta saran dari beliau. Beliau mengungkapkan harapan-harapan yang lumayan tinggi untuk calon menantunya nanti, dan itu sedikit membuat kening berkerinyit. Belum lagi permintaan Mama dan kakak-kakak untuk mengajak Rita datang ke rumah, berkenalan dengan keluarga. Sungguh membutuhkan banyak kesabaran untuk dapat menjelaskan kepada mereka tentang proses yang ingin saya jalani dalam menjemput jodoh. Mengajak calon ke rumah untuk diperkenalkan kepada orang tua, bukan salah satu langkah dalam proses tersebut.

Maka harus berkali-kali saya menjelaskan apa itu proposal nikah, gimana prosedurnya, apa saja yang bisa dilakukan dan tidak dilakukan. Kesemuanya itu tetap asing dan aneh menurut pandangan mereka. Bahkan ketika ditanya foto Rita, saya hanya memotret kembali pasfoto yang dia lampirkan di proposalnya. Itu semakin membuat mereka heran. Ah… sudahlah, pada akhirnya saya meminta yang terbaik dari Allah, supaya keluarga saya bisa  memahami dan mau menerima proses yang ingin saya jalani.

“Antum langsung ke DH saja akh”
“Iya Ustadz”. Saya tutup notebook memasukkannya ke dalam tas, merapikan rambut dan pakaian. Beberapa kali ambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras.
Haaaaah…. Taufik ketawa melihat tingkah saya yang kelihatan gugup.
BismiLlah. Saya lajukan abu-abu ke arah DH, banyak beritighfar.
Breeeeet-breeet…
Suara mesin si abu mengagetkan lamunan saya, dia tiba-tiba berhenti. Si abu mati.
Saya coba menyalakan kembali, suara yang ditimbulkan memprihatinkan.
“Ah.. jangan-jangan” Gumam daya dalam hati sembari membuka jok, dan ya, tangki si abu kosong melompong. Saya lupa sama sekali belum mengisi bensin semenjak dua hari yang lalu.

Saya cek ke dalam tas, memastikan kalau saya tidak lupa membawa dompet, dan sayangnya saya memang lupa membawa dompet. Ah… luar biasa. Saya buka handphone, Taufik Rahman terpampang di layar, saya tekan dial.
“Kunaon pal?”
“Yai, punten. Gue minta tolong. Motor gue mogok, gue lupa isi bensin”
“Lu dimana?”
“Di depan Gang Senen”
“Coba lu cari warung ke arah bataranila, biasanya ada bensin eceran”
“Gue lupa bawa dompet yai”
“Ah, gelo sia mah. Tunggguan di ditu”
“Hehehe… Nuhun, yai”

***
“Silakan antum dulu akh” Ustadz S mempersilakan saya untuk mulai mengajukan pertanyaan. Wajah Rita di seberang sana tidak terlalu jelas saya lihat. Namun, sesekali gerak bibirnya masih tampak saat dia menjawab pertanyaan yang saya ajukan.
Kepala saya tundukkan ketika mata kami tidak sengaja berpas-pasan.
“Sudah boleh lihat sekarang mah” Ustadz S menyadari gestur yang saya tunjukkan.
Saya malah semakin menundukkan kepala.

“Masalah umur, antum kan mencantumkan yang seangkatan atau di bawah. Sedangkan ana kan angkatannya di atas antum. Itu tidak apa-apa?”
Pertanyaan yang sudah saya pastikan akan keluar dari Rita. Saya menarik napas pelan.
“In sya Allah tidak apa-apa. Antum sendiri gimana? Tidak apa-apa punya suami umurnya di bawah antum?” Saya bertanya balik dengan nada sedikit menggoda.

“Ya.. tidak apa-apa. Umur tidak menunjukkan kedewasaan” Rita menjelaskan, panjang dan lebar tentang tidak ada hubungannya umur dengan kedewasaan, yang sudah biasa diutarakan oleh orang-orang. Saya jadi paham, kalau saat ini bukan hanya saya yang gugup.

“Ukh Rita aktivitasnya banyak, bisa jadi pulang sore terus. Antum tidak keberatan?” Umi A mengajukan pertanyaan langsung kepada saya.
“In syaa Allah, selama aktivitasnya jelas, ana tidak keberatan.”
“Bener ya, jangan sampai setelah menikah jadi vakum aktivitas dakwahnya.” Ustadz S memastikan.
“In syaa Allah, Ustadz. Kita dipertemukan oleh dakwah, in syaa Allah kelak saling mendukung dalam dakwah.”
DHEEEGGG… njirr… itu kata-kata meluncur sendiri dari mulut. Entah keberanian darimana. Saya menunduk dalam-dalam, merasa terlalu percaya diri dengan pernyataan saya tadi.

Sesi ta’aruf menghabiskan waktu 2 jam. Di akhir pertemuan kami mengagendakan untuk proses selanjutnya. Keluarga Rita meminta saya datang ke rumah untuk berkenalan dengan orang tua. Dada saya semakin berdegup. Ada semacam kekhawatiran tentang apa reaksi orang tua Rita saat nanti kenal dengan saya. Ya.. Saya bukan tipe orang yang cepat akrab dengan orang yang lebih tua.

“Oke kita tutup saja pertemuan kita. Ana ingatkan sekali lagi, hal ini masih rahasia, bahkan untuk teman-teman liqo’an antum.  Nanti saya buatkan grup WA biar kita mudah komunikasinya”
“Iya Ustadz”

***
Selepas maghrib, sebuah pemberitahuan masuk ke hp, ustadz S memasukkan saya ke dalam sebuah grup.
MENUJU HALAL.
Ah.. it’s getting seriuos, I know, I have to be more prepared about a lot of things.
Campur aduk rasanya.
Dalam temaramnya senja, saya buka mushaf biru.
Al-Kahfi, ayat 10, saya baca berulang.

Rabbana atinaa milladunka rahmah. Wahiyyi’lana min amrina rosyada.
“Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus bagi urusan kami.”

1914333_10206888195795423_6222730420309105332_n

Katanya sih mirip.

8 thoughts on “Tentang Sebuah Proses …

  1. umam barakalloh ya atas pernikahannya dengan mba rita, ya Allah maaf ya eva baru ngeh’ dgn undgan di fb(jarang buka fb sekarang) dengan pernikahan kamu, maaf tidak datang(padahal dikotabumi ya 😦 ), semoga pernikahannya samawa, bahagia selamanya dikaruniai keturunan yg sholeh dan sholeha sampai tua sampai maut memisahkan. Aamiin.
    terharu, baca artikel ini, masyaAllah, semoga kelak eva bisa merasakan cinta yg seperti kalian rasakan bahagia bertemu Jodoh yg datang dan karena Allah. 🙂

    Like

Leave a reply to evaipoet Cancel reply