Kesadaran Seorang Guru

Ada keunikan tersendiri saat kita mengajar di sekolah yang tidak menjadikan kemampuan dan kecerdasan kognitif sebagai syarat penerimaan siswanya. Kita akan menemukan siswa dengan kemampuan dan kecerdasan yang bervariasi.

Jujur saja, sebagai guru fisika, saya akan senang bila menemukan siswa yang memiliki kemampuan matematis yang ‘kece’, memiliki kemampuan analisis dan berpikir yang mumpuni, serta mampu memahami konsep secara utuh. Dan tentu saja, saya merasa ‘greget hati’ bila menemukan siswa yang berkebalikan dengan hal tersebut.

Namun, di sinilah letak keunikannya. Sebagai guru kita harus memiliki kesadaran bahwa siswa memiliki kecepatan dan kemampuan balajar yang berbeda. Ada siswa yang bisa kita ajak berlari, ada siswa yang harus kita temani berjalan, dan ada siswa yang harus kita papah selangkah demi selangkah.

Capek? tentu saja. Tapi sungguh akan ada kebanggaan tersendiri saat ada siswa yang menunjukkan peningkatan, walaupun itu selangkah demi selangkah.

Lalu bagaimana jika kita menemukan siswa yang sulit sekali berubah dalam pelajaran kita? Jangankan berlari, berjalan saja sulit. Maka di sinilah dibutuhkan kesadaran yang kedua, bahwa siswa merupakan individu dengan kecerdasan yang berbeda. Masih ingat 8 kecerdasannya Gardener?

14519730_10209049444585292_7366240399838027981_n

Biarkan saya bercerita tentang Arya (siswa kedua dari kanan) dan Ihsan (siswa pertama dari kiri) yang memiliki tipe kecerdasan yang berbeda.

Arya memiliki kecerdasan musikal yang lebih dominan. Arya mampu mengaransemen lagu menjadi berbeda dan seolah menjadi lagunya sendiri, mampu mengubah mars dan hymne sekolah menjadi versi perkusi dengan menggunakan botol-botol kaca berisi air, bahkan mampu menciptakan lagu yang menurut saya tidak ecek-ecek (baik dari lirik maupun musiknya). Pada awalnya, saya merasa Arya memang tidak memiliki passion di bidang eksakta. Tetapi setelah diberi motivasi dan pembinaan, diberikan penguatan bahwa dia juga harus lebih serius dengan hal-hal lain di luar musik, serta diajak untuk membuka wawasannya bahwa sains (terutama fisika) juga berkaitan dengan musik yang dia senangi, Arya mengalami peningkatan yang signifikan daripada semester sebelumnya. Bahkan sudah mampu menjadi tutor bagi teman-temannya. Arya perlahan berlari.

Ihsan memiliki keunikan tersendiri. Saya juga sempat hopeless pada awalnya. Tapi setelah diberi penguatan oleh pimpinan dan rekan guru yang lain, saya sadar bahwa saya belum mengenal Ihsan secara utuh. Ihsan ternyata memiliki preferensi belajar yang kinestetik. Untuk diam dalam waktu lama di tempat duduk rasanya mustahil. Loncat sana loncat sini. Sehingga dibutuhkan kesabaran yang luar biasa jika mengajar Ihsan. Tapi, ketika Ihsan diberikan tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan kebersihan kelas, diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis walaupun harus kita bimbing, ternyata mampu meningkatkan partisipasi dan kepercayaan dirinya di dalam pembelajaran. Yang pada akhirnya meningkatkan semangat belajarnya juga.

Ya, kita belajar dari 8 kecerdasannya Gardener untuk meluaskan penerimaan kita terhadap siswa. Siswa merupakan pribadi yang unik dengan segala kelebihan dan kelemahan yang Allah anugerahkan. Menerima sepenuh hati apa yang ada dalam diri siswa akan memicu solusi tentang bagaimana menghadapi mereka.

Lalu bagaimana jika kita masih saja menemukan siswa yang tidak juga berubah? Di sinilah kita harus memiliki kesadaran mengevaluasi. Mari kita evaluasi cara kita mengajar dan mendidik. Sudahkah benar? Atau barangkali kita tidak pernah menghadirkan mereka dalam doa-doa kita.

“Siswa itu milik Allah. Jadi kalau kita menemukan siswa yang sulit sekali kita nasehati. Siswa yang sulit menerima dan memahami yang kita ajarkan, berdaoa saja pada Sang Pemilik. Biar dibukakan pikiran dan hatinya sehingga bisa menerima dan memahami nasehat dan pelajaran kita.”

Ya, saya tahu pikiran ini klise sekali jika dibandingkan dengan realita yang ada. Kita dikejar oleh waktu dan dicekik oleh target. Hingga akhirnya kita melupakan kesadaran-kesadaran tadi dan fokus pada hasil. Kita lupa bahwa tugas utama kita sebagai seorang guru bukanlah membuat mereka cerdas atau membuat mereka lulus dan diterima di perguruan tinggi favorit, akan tetapi untuk mendidik mereka dengan sebaik-baiknya proses. Biar urusan hasil Allah yang putuskan.

Tulisan ini atas dasar evaluasi diri saya, saya masih harus banyak belajar. Memperbaiki yang kurang, mengumpulkan yang berserak, menambal yang berlubang. Sambil terus berdoa, semoga Allah berikan kekuatan dan keistiqomahan kepada kita semua.
Semoga.

Leave a comment